Be A Wise Coffee Lover

Semasa saya kecil, ibu saya kerap mengrim saya ke salah satu tempat saudaranya yang berdiam di sebuah kaki gunung di wilayah Wliingi, kabupaten Blitar. Bibi saya bekerja pada sebuah perkebunan kopi swasta yang cukup besar. Perkebunan ini cukup mandiri, mulai dari pembibitan hingga kopi siap kemas dikelola sendiri. Saya sering ikut bibi saya keluyuran di hutan kopi, memetik biji kopi atau hanya sekedar menemaninya memeriksa “wilayah” petiknya.

Setiap kali saya dikirim kesana, saya selalu tertantang… petualangan apa lagi yang akan saya alami? Begitu pikir saya. Suatu kali saat saya ikut bibi saya memeriksa wilayah petiknya, saya melihat seekor musang yang mengejar anak ayam hutan. Tentu saja si musang menang. Tanpa ba bi bu, si musang mencengkeram salah satu anak ayam dan membawanya pergi. Bibi saya terus berjalan tapi kali ini dia celingak celinguk sambil sesekali berhenti dan mencari sesuatu di permukaan tanah. Rupanya dia mencari kotoran luwak/ musang. Bibi saya bilang kopi ada pada kotoran luwak bila diolah adalah kopi terbaik.

Image

Begitu beranjak dewasa, saya menjadi pecandu kopi. Saya pernah mencicipi berbagai kopi dari daerah nusantara dan dunia, tentu saja secara gratis lewat program edukasi kopi yang diadakan oleh Starbucks. Pada suatu kali saya dan teman-teman saya berkunjung ke sebuah perkebunan kopi di daerah Kalibaru, Jember. Di perkebunan PTPN XII ini saya mencoba kopi lokal dan kopi luwak yang saat itu menjadi trend. Kopi luwak harganya sangat mahal, bisa sampai 3 kali lipat harga kopi biasa. Rasanya lebih asam dari kopi rata-rata, dan aromanya lebih keluar.

Saya jadi ingat bibi saya, yang suka memunguti kotoran luwak di hutan kopi. Saya mencoba bertanya pada petugas perkebunan, tentang cara mendapatkan kotoran luwak ini, dan saya dapati hal yang mengejutkan. Di tempat ini, kotoran luwak tidak dikumpulkan dari alam tapi mereka “memproduksi”nya. Mereka menangkap luwak di alam liar lalu menempatkannya dalam sebuah kandang. 

Image

Di dalam kandang itu ada sebuah wadah lebar berisi cherry kopi yang menjadi makanan luwak. Luwak adalah hewan yang sangat selektif. Dia hanya memakan biji kopi terbaik yang disediakan. Di dalam perut luwak, biji-biji kopi ini mengalami reaksi kimia dengan enzim pencernaan luwak dan proses fermentasi. Itulah mengapa biji kopi yang keluar bersama kotoran luwak menjadi sangat istimewa; biji kopi terbaik dan proses kimiawi dalam tubuh luwak. 

Tapi penjelasan berikutnya sangat menyedihkan. Luwak yang ditangkap rata-rata hanya akan bertahan selama 2-3 bulan paling lama. Setelah itu mereka mati. Kenapa demikian? Petugas perkebunan sebenarnya sadar bahwa domestikasi luwak tidaklah mudah dan biayanya sangat mahal. Luwak adalah omnivora, dia tidak melulu makan kopi. Di alam liar, luwak juga memakan binatang lain seperti serangga, ular kecil, burung, dan ayam seperti yang saya lihat waktu kecil di tempat bibi saya. Meskipun sudah diberikan makanan selingan berupa daging ayam dan susu namun tentu saja diet di alam liar lebih baik. Belum lagi kondisi “mental” si luwak yang gampang stress. Kedua hal ini yang menyebabkan tingginya angka kematian luwak yang dikandangkan.

Sebagai penggemar kopi, saya saat ini sangat menghindari minum kopi luwak. Bukan karena lagi ngetrend dibicarakan.. persetan kalo saya peduli akuisisi kopi luwak oleh negara lain.. tapi saya melakukan ini atas alasan lingkungan. Saya tidak mau lagi melihat luwak sebagai korban komoditi. Saya tidak mau melihat luwak bernasib sial, dipenjara dan dipekerjakan sampai mati. Saya mau berbuat nyata mencintai lingkungan, tidak dengan bergabung menjadi volunteer organisasi lingungan yang penuh topeng tapi dengan cara stop minum kopi luwak. Semoga menginspirasi.

Image

 

*foto nyomot di internet

 

Published by johanesjonaz

A believer, a part time traveller, a full time dreamer. Traveling - passion - exploring Indonesia - exploring the globe.

Leave a comment